Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution. Foto: Medcom.id/Achmad Zulfikar Fazli.
Jakarta: Pemerintah meminta masyarakat realistis melihat peristiwa pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Peristiwa itu diminta tak dibandingkan dengan krisis moneter saat Mei 1998.
Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution menjelaskan peristiwa 20 tahun lalu terjadi saat harga nilai tukar USD1 dari Rp2.800 menjadi hampir Rp15 ribu. Sedangkan, saat ini nilai tukar rupiah melemah dari Rp13 ribu menjadi sekitar Rp14.800.
"Jangan dibandingkan Rp14 ribu sekarang dengan 20 tahun lalu. (Itu) 20 tahun lalu berangkatnya dari Rp2.800 ke Rp14 ribu. Sekarang dari Rp13 ribu ke Rp14 ribu. Tahun 2014, dari Rp12 ribu ke Rp14 ribu," kata Darmin di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa, 4 September 2018.
Darmin heran ada pemberitaan yang menyebut nilai tukar rupiah anjlok pada nilai terendah sejak 1998. Terlebih, pemberitaan itu menjelaskan pelemahan itu dapat mengakibatkan krisis moneter.
"Maksud saya, cara membandingkan juga, ya dijelaskan lah bahwa enggak sama kenaikan dari Rp13 ribu ke Rp14 ribu sekian dengan dari Rp2.800. Saya heran itu ada artikel di salah satu pers internasional. Eh persoalan tahun 1998 itu enam kali lipat itu," ucap dia.
Baca: Analis Perkirakan Rupiah Tumbang ke Rp14.900/USD
Menurut dia, pelemahan rupiah terjadi karena krisis di Argentina. Pelemahan itu pun hanya menimbulkan defisit transaksi di angka 3 persen, yang masih lebih rendah saat nilai tukar rupiah melemah pada 2014 di angka 4 persen.
"Jangan kemudian (ditanyakan) apa kebijakan itu masih efektif? Nah itu kan bencana banget pandangannya. Kita fundamental ekonomi masih oke, kelemahan kita hanya transaksi berjalan yag defisit, berapa? 3 persen. Lebih kecil dari 2014, 4,2 persen. Masih lebih kecil dari Brazil, Turki, dan Argenina, itu lah," pungkas dia.
(FZN)
No comments:
Post a Comment